Santun dan Tahan Emosi, Saling Hujat
SANTUN DAN TAHAN EMOSI
Dalam hidup ini kita sering terpancing untuk emosi. Ada orang yang secara sengaja memancing emosi kita supaya keluar kata-kata yang tidak baik, konsentrasi menjadi kacau lalu melakukan tindakan yang tidak terpuji. Tapi masih banyak orang yang tanpa sengaja memancing emosi kita.
Seorang yang memancing emosi disebut orang yang jahil (bodoh) meskipun ia seorang profesor atau jenderal. Allah berfirman,
وَعِبَادُ الرَّحْمٰنِ الَّذِيْنَ يَمْشُوْنَ عَلَى الْاَرْضِ هَوْنًا وَّاِذَا خَاطَبَهُمُ الْجٰهِلُوْنَ قَالُوْا سَلٰمًا
“Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka, mereka mengucapkan salam (kata-kata yang mengandung keselamatan).” [Al Furqaan/25: 63]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Apabila orang-orang jahil menilai mereka sebagai orang-orang yang kurang akal yang diungkapkan kepada mereka dengan kata-kata yang buruk, maka mereka tidak membalasnya dengan hal yang semisal, melainkan memaafkan, dan tidaklah mereka mengatakan perkataan kecuali yang baik-baik.”
Seorang Muslim, terlebih lagi seorang pemimpin seharusnya memiliki sifat hilm (santun dan tahan emosi). Seorang muslim harus mencontoh kesantunan para Nabi, khususnya Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.
Nabi Yusuf Alaihis salam pernah dituduh oleh kakak-kakaknya bahwa dahulu pernah mencuri. Mereka mengucapkan fitnahan ini kepada penguasa Mesir tanpa mereka tahu bahwa ia adalah Nabi Yusuf sendiri. Allah menceritakan tentang kesantunan Nabi Yusuf.
فَاَسَرَّهَا يُوْسُفُ فِيْ نَفْسِهٖ وَلَمْ يُبْدِهَا لَهُمْۚ
“… maka Yusuf menyembunyikan kejengkelan dalam hatinya dan tidak menampakkan (kejengkelannya) kepada mereka…” [Yusuf/12: 77]
Allahu Akbar! Nabi Yusuf meskipun mampu membalas kezaliman kakak-kakaknya karena posisinya sebagai penguasa, tapi beliau memilih sabar dan memaafkan mereka.
Raut wajahnya tidak berubah sedikit pun sehingga orang-orang di sekitarnya tidak tahu bahwa beliau sebenarnya sedang marah. Untuk mencapai derajat ini perlu latihan demi latihan tanpa putus asa.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ وَإِنَّمَا الْحُلُمَ بِالتَّحَلُّمِ وَمَنْ يَتَحَرَّ الْخَيْرَ يُعْطِهِ وَمَنْ يَتَوَقَّ الشَّرَّ يُوقَهُ
“Bahwasanya ilmu itu didapat dengan belajar dan al hilmu (santun dan tahan emosi) diperoleh dengan latihan penuh kesungguhan. Barangsiapa berupaya berbuat baik maka ia akan diberi kebaikan dan barangsiapa hati-hati agar terhindar dari keburukan maka ia akan dihindarkan dari keburukan.” [HR Khatib Baghdadi dalam Tarikh Baghdad dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Ash Shahihah]
Kalau kita pelajari perjalanan hidup Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita akan kagum dan semakin cinta kepada beliau. Beliau seorang yang sangat santun dan sabar. Ketika malaikat penjaga gunung hendak menimpakan gunung kepada penduduk Thaif yang telah menyakiti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau melarangnya.
Ada lagi seorang Arab badui yang bersikap kurang ajar kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan menarik keras pakaian beliau sampai leher beliau memerah. Orang tersebut meminta uang dengan tidak sopan. Beliau hanya tersenyum dan memberinya uang. Orang Arab tadi telah menghina Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjatuhkan harga dirinya, tapi beliau orang yang bijak. Tidak pantas orang yang berakal meladeni orang yang bersikap bodoh. Justru kesabaran beliau menumbuhkan kecintaan orang Arab Badui tadi dan menambah kecintaan para sahabat kepada beliau. Bahkan di kemudian hari berjuta-juta manusia yang membaca atau mendengar kisah tersebut, mereka berdecak kagum, bersimpati, mencintai dan membela serta mendoakan (bershalawat kepada) beliau. Masih banyak lagi kisah kesantunan dan kesabaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang patut direnungi dan kita teladani.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berhasil mendidik para sahabatnya menjadi orang-orang yang santun dan sabar. Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘anhu yang di masa jahiliyahnya sangat emosional, tapi setelah masuk Islam, ia berhijrah menjadi orang yang mampu meredam emosi. Sifat tegasnya tidak berubah, tegas dalam kebenaran, tapi tetap santun dalam kata dan perbuatan, tidak kasar dan tidak arogan.
Dalam Shahih Bukhari, seseorang masuk menemui Khalifah Umar bin Khathab Rhadhiyallahu anhu lalu berkata, “Wahai bin Khathab, demi Allah engkau tidak memberikan kami yang banyak dan tidak adil dalam menetapkan hukum di antara kami.”
Umar marah sampai hampir memukulnya. Staf Umar yang bernama Al Hurru bin Qais berkata, “Wahai Amirul Mukiminin, sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” [Al A’raf/7: 199]
Dan orang ini (Uyainah bin Hushn) termasuk orang-orang yang bodoh.
Demi Allah, Umar tidak jadi memukul Uyainah setelah dibacakan ayat tersebut, dan beliau adalah orang yang sangat patuh terhadap kitab Allah.
Marilah kita memperdalam kitab Allah dan mempelajari perjalanan hidup pemimpin kita Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya dengan Islam, manusia akan mencapai kebersihan hati dan kemuliaan akhlak.
Jika kita melihat kekurangan dari pemimpin atau calon pemimpin kita, nasihatilah dia. Jangan lupa doakan untuknya, dengan hati yang ikhlas di waktu-waktu yang mustajab agar Allah mengaruniakan ketakwaan kepadanya, membersihkan hatinya, meluruskan lisannya, menghiasinya dengan akhlak yang mulia, dan menjadikannya sebagai orang yang santun dan mudah menahan emosi, aamiin.
Rabu 10 Apr 2019
Fariq Gasim Anuz
SALING HUJAT AKIBAT BENCANA BANJIR TAK SESUAI AJARAN ISLAM, INI PENJELASANNYA
Bencana banjir yang menerjang sejumlah wilayah di Indonesia menjadi celah bagi masyarakat untuk saling menyalahkan, terutama kepada kepala daerah. Mereka menilai bencana banjir ini terjadi karena adanya kesalahan dalam pencegahan banjir.
Tapi, apakah sikap menyalahkan seperti itu sudah benar dilakukan dalam menyikapi bencana banjir? Dalam Islam, tindakan tersebut ternyata bukan hal yang patut dilakukan.
Seperti dijelaskan Ustadz Fariq Gasim Anuz, dalam kasus saling menyalahkan saat bencana banjir ini, ia memiliki beberapa contoh cerita yang bisa kita jadikan sebagai bahan introspeksi diri terkait kebiasaan menyalahkan ini. Juga dengan meminta pertanggungjawaban atas bencana banjir.
Salah satu contoh yang diceritakan oleh Ustadz Fariq adalah mengenai sopir dan majikan. Suatu ketika ada seorang sopir di Jeddah pernah mengungkapkan kisah hidup pada dirinya.
Dia bercerita bahwa dirinya memiliki kiat untuk mengatasi majikan, yang sering menyalahkannya jika mereka terjebak macet di Jeddah. Sikap ini akhirnya dilakukan sopir karena dirinya selalu disalahkan.
Suatu ketika mereka terjebak dalam kemacetan dan si majikan berkata, “Mengapa kamu tidak memilih jalan lain?”.
Sejak saat itu, setiap ada pilihan jalan, sopir akan bertanya dahulu kepada majikannya, untuk memilih jalan mana yang akan ditempuh. Meskipun lewat jalan berbeda ternyata mobil pun terjebak macet. Majikannya pun diam saja, tidak menyalahkan dirinya.
Cerita berlanjut, suatu hari majikan sopir tersebut mengajak istri dan anaknya pergi naik mobil. Sopir mulai menanyakan pilihan jalan yang perlu ditempuh, ketika melewati beberapa jalan alternatif.
Majikan laki-laki memutuskan satu jalan yang perlu dilalui. Ternyata tidak berapa lama, mobil mereka terjebak macet. Majikan laki-laki marah kepada sopirnya dengan mengatakan, “Mengapa kamu lewat jalan ini yang menyebabkan kemacetan?”.
Mendengar ayahnya marah pada sang sopir, anak perempuan majikan itu justru membela sopir. Sang anak juga mengingatkan ayahnya karena memilih jalan tersebut. Akhirnya majikan laki-laki tersebut diam dan malu kepada sopirnya.
Ustadz Fariq juga punya cerita lain terkait dengan kebiasaan suka menyalahkan ini. Ada seorang ibu rumah tangga menelepon suaminya untuk memberitahu anaknya sakit panas.
Istri berharap suaminya menenangkan hatinya yang sedang galau dan memberikan solusi terbaik. Namun, yang ia dapat justru suaminya menyalahkannya. “Kamu beri makan apa anak kita sehingga dia sakit?” Karena disalahkan, ia bertambah sedih dan hatinya semakin galau.
“Dari dua cerita itu kita bisa belajar. Apabila selama ini kita sering menyalahkan orang lain, maka mulai dari sekarang, tinggalkan kebiasaan buruk tersebut. Carilah solusi dari permasalahan yang timbul akibat kesalahan tersebut,” kata Ustadz Fariq beberapa waktu lalu.
Ustadz Fariq melanjutkan, tidak ada salahnya juga untuk kita memberi pelajaran dari kesalahan yang terjadi jika kesalahan tersebut tidak pantas untuk terjadi. Namun, jika kesalahan itu bukan sesuatu yang besar, seharusnya kita sebagai umat memakluminya. “Apabila itu adalah kesalahan berupa dosa dan kemungkaran, maka harus diingkari dengan bijaksana,” sambungnya.
Ustad Fariq Gasim Anuz lantas mengutip sebuah hadits. Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau pernah tinggal dan membantu Rasulullah selama sepuluh tahun, baik ketika di rumah mau pun dalam perjalanan :
لَقَدْ خَدَمْتُ رَسُوْلَ اللهِ عَشَرَ سِنِيْنَ, فَمَا قَالَ لِي أُفٍّ وَلَا قَالَ لِشَيْئٍ فَعَلْتُهُ لِمَ فَعَلْتَهُ؟, وَلَا لِشَيْئٍ لَمْ أَفْعَلْهُ: أَلَا فَعَلْتَ كَذَا؟
Sungguh aku telah melayani Rasûlullâh selama sepuluh tahun. Beliau tidak pernah berkata kepadaku sekalipun, “Aah”, tidak pernah berkomentar tentang apa yang aku lakukan, “Mengapa kamu lakukan (ini)”, dan tentang apa yang tidak aku lakukan, “Mengapa kamu tidak melakukan demikian? [HR Bukhari dan Muslim]
Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu mengatakan :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merasa jengkel kepadanya sama sekali dalam sepuluh tahun ia melayani beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara seseorang dari kita, hanya sekedar sepekan atau kurang lebih dari sepekan saja, sudah pernah meluapkan kemarahan atau kejengkelan terhadap pembantunya.
Senin 06 Januari 2020
Fariq Gasim Anuz
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3839-santun-dan-tahan-emosi-saling-hujat.html